skodeng

Wednesday, March 25, 2009

Marah yang terlewat

Aku dapat rasakan marahmu
Sewaktu aku jauh memerhati
Bagai halilintar menyabung
Bagai guruh berdentum
Bagai kilat menyambar
Bagai rekahan bumi menelan kota

Aku dapat rasakan marahmu
Sewaktu aku berjalan menghampiri
Bagai taufan melanda rimba
Bagai puting beliung menerjah bumi
Bagai gunung salji menimbus lautan
Bagai tsunami menghempas daratan

Kini aku disisimu, memimpinmu duduk
Aku dapat rasakan sabar
Yang kau pendam sekian lama
Bagai kemarau membakar kehijauan
Sehingga tinggal bumi kontang

Kini aku memelukmu, meramas jemarimu
Aku dapat rasakan kecewa
Yang kau lalui sekian lama
Bagai banjir yang menghilangkan bukit
Sehingga daratan menjadi lautan

Kini aku bersemadi dalam dirimu
Aku dapat rasakan mahumu
Bagai embun menyentuh dedaun
Bagai malam berteman bulan
Bagai mentari senja kemerahan
Bagai taman di waktu petang

Kini kau tenang, aku mula bicara
‘ Ada cerita duka yang disimpan

Pada garis garis kulitmu
Ada cita yang diharapkan
Pada sinar sayu wajahmu’

Kau ku saksi bingung, aku bicara lagi
‘ Anak, bukan la seperti besi atau waja
Keras, kukuh, dan kuat
Tapi mudah di lentur apabila di panaskan
Anak umpama tumbuhan
Yang perlu di lentur dari hijau yang lembut
Sebelum dia kukuh berdiri’

Kini di wajahmu ada sesal, tergaris dalam kedut usiamu
Lalu aku bercerita lagi, dari kata sebuah puisi
Anakmu bukanlah anakmu.
Mereka putra-putri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka datang melalui engkau tapi bukan dari engkau,
Dan walau mereka ada bersamamu tapi mereka bukan kepunyaanmu.

Kini pelukan dan genggamanku berbalas
Hangat air matamu di bahuku, hiba
Lalu ku pimpinmu pulang

Ke teratap sepiku, yang dah lama kelam

Dalam daerah asing, dengan kata akhir
Anak adalah amanah allah, yang harus dididik dan diasuh
Dari sehijau usia, berlandas kitab dan rasulnya
Bersama doa redha dan syukur…

Embun

Bagai embun
Bahagia yang datang
Sekejap dan seketika cuma
Belum puas aku tersenyum
Belum puas aku ketawa
Fajar telah pun menjemputnya pergi

Bagai embun
Cinta yang bertandang
Saat aku leka di dalamnya
Saat aku terbuai olehnya
Saat aku merasa ketenangan
Fajar itu telah menjemputnya pergi

Bagai embun
Itulah bahagia yang pernah ku kecapi
Sekejap dan seketika cuma
Namun membasahi setiap ruang hidup ku

Bagai embun
Itulah cinta yang pernah kulalui
Saat aku leka didalamnya
Hanyut dalam kesuciannya
Menabur janji dan harapan untuk bersama
Dia telah pergi mengadap ilahi

Bagai embun
Suci, dingin dan sejernih mutiara
Hadir sepertiga malam
Berlalu di saat fajar tiba..

Mohon Permisi


hari ini aku aku pohon permisi
bukan menjauhkan diri
tapi untuk datang kembali
bertanya tentang hak ku
adakah aku masih di situ?
atau mimpi sudah berlalu
jika ada yang bertanya
ke mana ku pergi
jangan sekali menjawab
biar mereka tertanya
biar mereka terfikir
perginya aku selamanya
meninggalkan satu nostalgia
atau hadirku semula
membawa satu cerita gembiraangin tolong aku
kirimkan pujangga ini
secubit rindu basi
sampaikan pada embun
bawalah air mataku
titiskan pada seri wajahnya
di hening pagi
kala semua mata tertutup
dan dia bangun
merendahkan diri pada Illahi

aku pohon pamit
aku pohon permisi
aku pohon ampun
aku pohon kemaafan
aku pohon kau dengar
aku pohon kau mengerti
aku pohon kau tabah
aku pohon kau sadar
aku pohon apa yang kau pohonkan
dan ku tadahkan dua telapak suci
memohon pada Yang Esa
agar ada restu di perjalanan ini

dan
aku akan kembali
untuk bertanyakan semula
adakah aku masih di situ
seperti masa mula dulu

Saturday, March 14, 2009

KehiDupAn

mengingat bayangmu yang jauh pada waktu yang kian sempit dadaku nyaris terbelah perih melolong sengit rinduku membuncah merobek langit kutitip puisi rindu pada nyanyi angin sendu agar hati tak kian pilu berharap kaupun rindu