Sewaktu aku jauh memerhati
Bagai halilintar menyabung
Bagai guruh berdentum
Bagai kilat menyambar
Bagai rekahan bumi menelan kota
Aku dapat rasakan marahmu
Sewaktu aku berjalan menghampiri
Bagai taufan melanda rimba
Bagai puting beliung menerjah bumi
Bagai gunung salji menimbus lautan
Bagai tsunami menghempas daratan
Aku dapat rasakan sabar
Yang kau pendam sekian lama
Bagai kemarau membakar kehijauan
Sehingga tinggal bumi kontang
Kini aku memelukmu, meramas jemarimu
Aku dapat rasakan kecewa
Yang kau lalui sekian lama
Bagai banjir yang menghilangkan bukit
Sehingga daratan menjadi lautan
Kini aku bersemadi dalam dirimu
Aku dapat rasakan mahumu
Bagai embun menyentuh dedaun
Bagai malam berteman bulan
Bagai mentari senja kemerahan
Bagai taman di waktu petang
Kini kau tenang, aku mula bicara
‘ Ada cerita duka yang disimpan
Pada garis garis kulitmu
Ada cita yang diharapkan
Pada sinar sayu wajahmu’
Kau ku saksi bingung, aku bicara lagi
‘ Anak, bukan la seperti besi atau waja
Keras, kukuh, dan kuat
Tapi mudah di lentur apabila di panaskan
Anak umpama tumbuhan
Yang perlu di lentur dari hijau yang lembut
Sebelum dia kukuh berdiri’
Kini di wajahmu ada sesal, tergaris dalam kedut usiamu
Lalu aku bercerita lagi, dari kata sebuah puisi
Anakmu bukanlah anakmu.
Mereka putra-putri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka datang melalui engkau tapi bukan dari engkau,
Dan walau mereka ada bersamamu tapi mereka bukan kepunyaanmu.
Kini pelukan dan genggamanku berbalas
Hangat air matamu di bahuku, hiba
Lalu ku pimpinmu pulang
Ke teratap sepiku, yang dah lama kelam
Dalam daerah asing, dengan kata akhir
Anak adalah amanah allah, yang harus dididik dan diasuh
Dari sehijau usia, berlandas kitab dan rasulnya
Bersama doa redha dan syukur…